Jakarta
Kepulauan Seribu Kota Pulau Pramuka , Jakarta Barat Kota Kembangan, Jakarta Pusat Kota MentengJakarta Selatan Kebayoran BaruJakarta Timur Cakung
Jakarta Utara Koja
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sunda KelapaJayakartaBatavia Provinsi di Indonesia DKI Jakarta (Dari atas, kiri ke kanan): Kota Tua Jakarta, Bundaran Hotel Indonesia, Cakrawala Jakarta, Stadion Gelora Bung Karno, Taman Mini Indonesia Indah, Monumen Nasional, Istana Merdeka, Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta. (Dari atas, kiri ke kanan): Kota Tua Jakarta, Bundaran Hotel Indonesia, Cakrawala Jakarta, Stadion Gelora Bung Karno, Taman Mini Indonesia Indah, Monumen Nasional, Istana Merdeka, Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta.
Lambang resmi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Lambang Julukan: The Big Durian, J-Town[1] Semboyan: "Jaya Raya" ("Jaya dan Besar (Agung)") Peta Peta Negara Indonesia Hari jadi 22 Juni 1527 (umur 492) Ibu kota Jakarta Jumlah satuan pemerintahan Daftar[tampilkan] Pemerintahan • Gubernur Anies Baswedan • Wakil Gubernur Jabatan lowong • Sekretaris Daerah Saefullah • Ketua DPRD Prasetyo Edi Marsudi Luas[2] • Total 7.659,02 km2 (295,716 sq mi) Penduduk (2017)[3][3][4] • Total 10.374.235 • Kepadatan 15.663/km2 (40,570/sq mi) Demografi • Agama Islam (83,30%) Kristen (12,66%) —Protestan (8,62%) —Katolik (4,04%) Buddha (3,84%) Hindu (0,21%) Konghucu (0,06%) [5] • Suku bangsa Jawa (35,16%) Betawi (27,65%) Sunda (15,27%) Tionghoa (5,53%) Batak (3,61%) Minang (3,18%) Melayu (1,62%) Bugis, Aceh, Madura, dan lain-lain (7,98%)[6] • Bahasa Indonesia (resmi) Betawi (utama) Melayu, Jawa, Pecok, Sunda, Banjar, Minangkabau, Batak, Madura, Inggris, Tionghoa, Mandarin, Arab, Tamil, Belanda, Portugis • IPM 79,60 (tinggi)[3] Zona waktu WIB (UTC+07:00) Kode pos 10xxx-14xxx Kode area telepon 021 ISO 3166 ID-JK Plat kendaraan B Dasar hukum pendirian UU Nomor 29 Tahun 2007 APBD Rp89.088.351.842.504,00[7] (2019) PAD Rp50.624.330.153.998,00[7] Lagu daerah Kicir-Kicir Rumah adat Rumah Bapang/Kebaya Senjata tradisional Golok Flora Salak condet Fauna Elang bondol Situs web jakarta.go.id Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibu kota negara dan kota terbesar di Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di pesisir bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan beberapa nama di antaranya Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia. Di dunia internasional Jakarta juga mempunyai julukan J-Town,[8] atau lebih populer lagi The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding New York City (Big Apple) di Indonesia.[9] Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 10.374.235 jiwa (2017).[3] Wilayah metropolitan Jakarta (Jabodetabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa,[5] merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia. Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yakni Bandara Soekarno–Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma, serta tiga pelabuhan laut di Tanjung Priok, Sunda Kelapa, dan Ancol. Daftar isi 1 Sejarah 1.1 Nama-nama yang pernah diberi untuk kota Jakarta 1.2 Etimologi 1.3 Sunda Kelapa (397–1527) 1.4 Jayakarta (1527–1619) 1.5 Batavia (1619–1942) 1.6 Djakarta (1942–1945) 1.7 Jakarta (1945-sekarang) 2 Ekonomi 3 Transportasi 3.1 Transjakarta 3.2 Kereta listrik 3.3 Angkutan sungai 4 Infrastruktur 5 Kependudukan 5.1 Agama 5.2 Etnis 6 Geografi 6.1 Iklim 7 Lingkungan 7.1 Taman kota 8 Pemerintahan 8.1 Pemerintah Daerah 8.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 8.3 Perwakilan di DPR RI dan DPD RI 8.4 Kedutaan Besar 9 Pendidikan 10 Pariwisata 10.1 Wisata belanja 10.1.1 Pasar dan pusat perbelanjaan 10.1.1.1 Beberapa pusat perbelanjaan modern 10.1.1.2 Jakarta Pusat 10.1.1.3 Jakarta Barat 10.1.1.4 Jakarta Utara 10.1.1.5 Jakarta Selatan 10.1.1.6 Jakarta Timur 11 Kebudayaan 12 Makanan 13 Olahraga 14 Media 14.1 Surat kabar 14.2 Stasiun televisi 14.2.1 Berlangganan 14.3 Stasiun radio 15 Musik dan Hiburan 16 Kota kembar 17 Masakan 17.1 Makanan 17.2 Minuman 17.3 Kue/Makanan Ringan 17.4 Oleh-Oleh 18 Permasalahan 18.1 Sosial 18.2 Banjir 19 Lihat pula 20 Referensi 21 Pranala luar Sejarah Lihat pula: Sunda Kelapa, Kerajaan Sunda dan Sejarah Batavia Peta Batavia (sekarang Jakarta) tahun 1888. Nama-nama yang pernah diberi untuk kota Jakarta Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Sunda Kelapa (397–1527) Jayakarta (1527–1619) Batavia (1619–1942) Jakarta (1942–sekarang) Ibukota DKI Jakarta (1998–sekarang) Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1998–sekarang) Etimologi Nama Jakarta sudah digunakan sejak masa pendudukan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905.[10] Nama "Jakarta" merupakan kependekan dari kata Jayakarta (aksara Dewanagari: जयकृत), yaitu nama dari Bahasa Sansekerta yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan berhasil menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527 dari Portugis. Nama ini diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya berarti "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" karena berasal dari dua kata Sansekerta yaitu Jaya (जय) yang berarti "kemenangan"[11] dan Karta (कृत) yang berarti "dicapai".[12] Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis, João de Barros, dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra,[13] demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten[14] dan Sajarah Banten (pupuh 45 dan 47)[15] sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta). Sunda Kelapa (397–1527) Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa (Aksara Sunda: ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮊᮜᮕ), berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Padjadjaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti "ibu kota") dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura (bahasa Sansekerta yang berarti "Kota Sunda"). Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu. Jayakarta (1527–1619) Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di Museum Nasional, Jakarta Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan pendudukan Pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta (aksara Dewanagari: जयकृत) yang berarti "kota kemenangan", Jayakarta berasal dari dua kata Sansekerta yaitu Jaya (जय) yang berarti "kemenangan"[11] dan Karta (कृत) yang berarti "dicapai".[12] Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten. Batavia (1619–1942) Pasukan Pangeran Jayakarta menyerahkan tawanan Belanda kepada Pangeran Jayakarta. Bekas gedung stadhuis atau balai kota Batavia. Bangunan ini sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Dengarkan artikel (info/dl) MENU0:00 Berkas suara ini dibuat dari revisi tanggal 2012-05-30, dan tidak termasuk suntingan terbaru ke artikel. (Bantuan suara) Lebih banyak artikel Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai. Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.[16] Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.[17] Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon. Djakarta (1942–1945) Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Jakarta (1945-sekarang) Bentang Jakarta pada tahun 2017 Sejak kemerdekaan sampai sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.[18] Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas. Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan. Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai. Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998). Ekonomi Jalan Jenderal Sudirman, salah satu pusat bisnis dan perekonomian Jakarta. Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Saat ini, lebih dari 70% uang negara beredar di Jakarta.[19] Perekonomian Jakarta terutama ditunjang oleh sektor perdagangan, jasa, properti, industri kreatif, dan keuangan. Beberapa sentra perdagangan di Jakarta yang menjadi tempat perputaran uang cukup besar adalah kawasan Tanah Abang dan Glodok. Kedua kawasan ini masing-masing menjadi pusat perdagangan tekstil serta dengan sirkulasi ke seluruh Indonesia. Bahkan untuk barang tekstil dari Tanah Abang, banyak pula yang menjadi komoditi ekspor. Sedangkan untuk sektor keuangan, yang memberikan konstribusi cukup besar terhadap perekonomian Jakarta adalah industri perbankan dan pasar modal. Untuk industri pasar modal, pada bulan Mei 2013 Bursa Efek Indonesia tercatat sebagai bursa yang memberikan keuntungan terbesar, setelah Bursa Efek Tokyo.[20] Pada bulan yang sama, kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia telah mencapai USD 510,98 miliar atau nomor dua tertinggi di kawasan ASEAN.[21] Pada tahun 2012, pendapatan per kapita masyarakat Jakarta sebesar Rp 110,46 juta per tahun (USD 12,270).[22] Sedangkan untuk kalangan menengah atas dengan penghasilan Rp 240,62 juta per tahun (USD 26,735), mencapai 20% dari jumlah penduduk. Di sini juga bermukim lebih dari separuh orang-orang kaya di Indonesia dengan penghasilan minimal USD 100,000 per tahun. Kekayaan mereka terutama ditopang oleh kenaikan harga saham serta properti yang cukup signifikan. Saat ini Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan harga properti mewah yang tertinggi di dunia, yakni mencapai 38,1%.[23] Selain hunian mewah, pertumbuhan properti Jakarta juga ditopang oleh penjualan dan penyewaan ruang kantor. Pada periode 2009-2012, pembangunan gedung-gedung pencakar langit (di atas 150 meter) di Jakarta mencapai 87,5%. Hal ini telah menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan pencakar langit tercepat di dunia.[24] Pada tahun 2020, diperkirakan jumlah pencakar langit di Jakarta akan mencapai 250 unit. Dan pada saat itu Jakarta telah memiliki gedung tertinggi di Asia Tenggara dengan ketinggian mencapai 638 meter (The Signature Tower). Transportasi Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Peta pola induk transportasi metropolitan Jakarta. Di DKI Jakarta, tersedia jaringan jalan raya dan jalan tol yang melayani seluruh kota, namun perkembangan jumlah mobil dengan jumlah jalan sangatlah timpang (5-10% dengan 4-5%). Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan 100 titik simpang rawan macet di Jakarta. Definisi rawan macet adalah arus tidak stabil, kecepatan rendah serta antrean panjang. Selain oleh warga Jakarta, kemacetan juga diperparah oleh para pelaju dari kota-kota di sekitar Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang bekerja di Jakarta. Untuk di dalam kota, kemacetan dapat dilihat di Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Rasuna Said, Jalan Satrio, dan Jalan Gatot Subroto. Kemacetan sering terjadi pada pagi dan sore hari, yakni di saat jam pergi dan pulang kantor. Peta jalur Transjakarta. Untuk melayani mobilitas penduduk Jakarta, pemerintah menyediakan sarana bus PPD. Selain itu terdapat pula bus kota yang dikelola oleh pihak swasta, seperti Mayasari Bakti, MetroMini, Kopaja, dan Bianglala Metropolitan. Bus-bus ini melayani rute yang menghubungkan terminal-terminal dalam kota, antara lain Pulogadung, Kampung Rambutan, Blok M, Kalideres, Grogol, Tanjung Priok, Lebak Bulus, Rawamangun, dan Kampung Melayu. Untuk angkutan lingkungan, terdapat angkutan kota seperti Mikrolet dan KWK, dengan rute dari terminal ke lingkungan sekitar terminal. Selain itu ada pula ojek, bajaj, dan bemo untuk angkutan jarak pendek. Tidak seperti wilayah lainnya di Jakarta yang menggunakan sepeda motor, di kawasan Tanjung Priok dan Jakarta Kota, pengendara ojek menggunakan sepeda ontel. Angkutan becak masih banyak dijumpai di wilayah pinggiran Jakarta seperti di Bekasi, Tangerang, dan Depok. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memulai pembangunan kereta bawah tanah (subway) dan MRT Jakarta pada Tahun 2013. Subway jalur Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 15 km ditargetkan beroperasi pada 2019. Jalur kereta monorel juga sedang dipersiapkan melayani jalur Semanggi - Roxy yang dibiayai swasta dan jalur Kuningan - Cawang - Bekasi - Bandara Soekarno Hatta yang dibiayai pemerintah pusat. Untuk lintasan kereta api, pemerintah pusat sedang menyiapkan double track pada jalur lintasan kereta api Manggarai Cikarang. Selain itu juga, saat ini sudah dibangun jalur kereta api dari Manggarai menuju Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Jalur ini sudah siap dioperasikan dan dibuka untuk umum. Transjakarta Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Artikel utama: Transjakarta Bus Transjakarta. Sejak tahun 2004, Pemerintah DKI Jakarta telah menghadirkan layanan transportasi umum yang dikenal dengan TransJakarta. Layanan ini menggunakan bus AC dan halte yang berada di jalur khusus. Saat ini ada dua belas koridor Transjakarta yang telah beroperasi, yaitu: Koridor 1 Blok M - Kota Koridor 2 Pulogadung - Harmoni Koridor 3 Kalideres - Pasar Baru Koridor 4 Pulogadung - Dukuh Atas Koridor 5 Kampung Melayu - Ancol Koridor 6 Ragunan - Latuharhary - Dukuh Atas Koridor 7 Kampung Rambutan - Kampung Melayu Koridor 8 Lebak Bulus - Harmoni Koridor 9 Pluit - Pinang Ranti Koridor 10 Cililitan - Tanjung Priok Koridor 11 Kampung Melayu - Pulo Gebang Koridor 12 Pluit - Tanjung Priok Koridor 13 Tendean - Ciledug Kereta listrik Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Artikel utama: KRL Jabotabek KRL Jabotabek. Selain bus kota, angkutan kota, becak dan bus Transjakarta, sarana transportasi andalan masyarakat Jakarta adalah kereta rel listrik atau yang biasa dikenal dengan KRL Jabotabek. Kereta listrik ini beroperasi dari pagi hari hingga malam hari, melayani masyrakat penglaju yang bertempat tinggal di seputaran Jabodetabek. Ada beberapa jalur kereta rel listrik, yakni Jalur Merah Jakarta Kota - Bogor, lewat Gambir, Manggarai, Pasar Minggu, dan Depok. Jalur Jingga Bogor - Jatinegara / Nambo - Duri, lewat Manggarai, Tanah Abang, Kampung Bandan dan Pasar Senen. Jalur Biru Jakarta Kota - Cikarang, lewat Gambir, Manggarai, dan Jatinegara. Jalur Hijau Tanah Abang - Maja, lewat Kebayoran Lama dan Serpong. Jalur Coklat Duri - Tangerang, lewat Rawa Buaya. Jalur Pink Jakarta Kota - Pelabuhan Tanjung Priok. Saat ini sudah bisa dipergunakan untuk jalur Commuter Line dan angkutan Barang. Angkutan sungai Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Artikel utama: Angkutan Sungai Jakarta Angkutan Sungai, atau lebih populer dengan sebutan "Waterways", adalah sebuah sistem transportasi alternatif melalui sungai di Jakarta, Indonesia. Sistem transportasi ini diresmikan penggunaannya oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada tanggal 6 Juni 2007. Sistem ini merupakan bagian dari penataan sistem transportasi di Jakarta yang disebut Pola Transportasi Makro (PTM). Dalam PTM disebutkan bahwa arah penataan sistem transportasi merupakan integrasi beberapa model transportasi yang meliputi Bus Rapid Transit (BRT), Light Rapid Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), dan Angkutan Sungai (Waterways). Waterways mulai dioperasikan dan diintegrasikan dalam transportasi makro Jakarta setelah peresmian rute Halimun-Karet sepanjang 1,7 kilometer oleh Gubernur Sutiyoso pada 6 Juni 2007. Rute ini merupakan bagian dari perencanaan rute Manggarai-Karet sepanjang 3,6 kilometer. Waterways merupakan kelanjutan dari pengoperasian sistem transportasi TransJakarta. Untuk mengawali Waterways, Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta mengoperasikan dua unit kapal yang masing-masing berkapasitas 28 orang yang disebut KM Kerapu III dan KM Kerapu IV yang berkecepatan maksimal 8 knot. Infrastruktur Suasana Bundaran HI ketika Car-Free Day tiap hari Minggu. Terminal 3 Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Tangerang-Banten Sebagai salah satu kota metropolitan dunia, Jakarta telah memiliki infrastruktur penunjang berupa jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, gas, serat optik, bandara, dan pelabuhan. Saat ini rasio jalan di Jakarta mencapai 6,2% dari luas wilayahnya.[25] Selain jalan protokol, jalan ekonomi, dan jalan lingkungan, Jakarta juga didukung oleh jaringan Jalan Tol Lingkar Dalam, Jalan Tol Lingkar Luar, Jalan Tol Jagorawi, dan Jalan Tol Ulujami-Serpong. Pemerintah juga berencana akan membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua yang mengelilingi kota Jakarta dari Bandara Soekarno Hatta-Tangerang-Serpong-Cinere-Cimanggis-Cibitung-Tanjung Priok. Untuk ke kota-kota lain di Pulau Jawa, Jakarta terhubung dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang bersambung dengan Jalan Tol Cipularang ke Bandung dan Jalan Tol Cipali ke Cirebon. Selain itu juga tersedia layanan kereta api yang berangkat dari enam stasiun pemberangkatan di Jakarta. Untuk ke Pulau Sumatra, tersedia ruas Jalan Tol Jakarta-Merak yang kemudian dilanjutkan dengan layanan penyeberangan dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni. Untuk ke luar pulau dan luar negeri, Jakarta memiliki satu pelabuhan laut di Tanjung Priok dan bandar udara yaitu: Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tanggerang,Banten yang melayani penerbangan internasional dan domestik. Bandara Halim Perdanakusuma yang banyak berfungsi untuk melayani penerbangan kenegaraan serta penerbangan domestik Untuk pengadaan air bersih, saat ini Jakarta dilayani oleh dua perusahaan, yakni PT. Aetra Air Jakarta untuk wilayah sebelah timur Sungai Ciliwung, dan PT. PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) untuk wilayah sebelah barat Sungai Ciliwung. Pada tahun 2015, kedua perusahaan ini mampu menyuplai air bersih kepada 60% penduduk Jakarta.[26] Kependudukan Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, pada tahun 1970-an. Artikel utama: Demografi Jakarta Berdasarkan data BPS pada tahun 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa. Namun pada siang hari, angka tersebut dapat bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok. Agama Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data pemerintah DKI pada tahun 2014, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (83.30%), Kristen Protestan (8.62 %), Katolik (4.04%), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,82%)[27] Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, di mana umat Islam berjumlah 84,4%, diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%)[28] Menurut Cribb, pada tahun 1971 penganut agama Kong Hu Cu secara relatif adalah 1,7%. Pada tahun 1980 dan 2005, sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang diakui pemerintah. Berbagai tempat peribadatan agama-agama dunia dapat dijumpai di Jakarta. Masjid dan mushala, sebagai rumah ibadah umat Islam, tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan hampir di setiap lingkungan. Masjid terbesar adalah masjid nasional, Masjid Istiqlal, yang terletak di Gambir. Sejumlah masjid penting lain adalah Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Masjid At Tin di Taman Mini, dan Masjid Sunda Kelapa di Menteng. Sedangkan gereja besar yang terdapat di Jakarta antara lain, Gereja Katedral Jakarta, Gereja Santa Theresia di Menteng, dan Gereja Santo Yakobus di Kelapa Populasi historis Tahun Jumlah Pend. ±% 1870 65.000 — 1875 99.100 +52.5% 1880 102.900 +3.8% 1890 105.100 +2.1% 1895 114.600 +9.0% 1901 115.900 +1.1% 1905 138.600 +19.6% 1918 234.700 +69.3% 1920 253.800 +8.1% 1925 290.400 +14.4% 1930 435.184 +49.9% 1940 533.000 +22.5% 1945 600.000 +12.6% 1950 1.733.600 +188.9% 1959 2.814.000 +62.3% 1961 2.906.533 +3.3% 1971 4.546.492 +56.4% 1980 6.503.449 +43.0% 1990 8.259.639 +27.0% 2000 8.384.853 +1.5% 2005 8.540.306 +1.9% 2010 9.607.787 +12.5% 2011 10.187.595 +6.0% Agama di Jakarta (2017)[29] Agama Persentase Islam 83.43% Protestan 8.63% Katolik 4.00% Buddha 3.74% Hindu 0.19% Konghucu 0.01% Rakyat 0.00% Gading untuk umat Katolik. Masih dalam lingkungan di dekatnya, terdapat bangunan Gereja Immanuel yang terletak di seberang Stasiun Gambir bagi umat Kristen Protestan. Selain itu, ada Gereja Koinonia di Jatinegara, Gereja Sion di Jakarta Kota, Gereja Kristen Toraja di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Bagi umat Hindu yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya, terdapat Pura Adhitya Jaya yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, dan Pura Segara di Cilincing, Jakarta Utara. Rumah ibadah umat Buddha antara lain Vihara Dhammacakka Jaya di Sunter, Vihara Theravada Buddha Sasana di Kelapa Gading, dan Vihara Silaparamitha di Cipinang Jaya. Sedangkan bagi penganut Konghucu terdapat Kelenteng Jin Tek Yin. Jakarta juga memiliki satu sinagoge yang digunakan oleh pekerja asing Yahudi.[butuh rujukan] Etnis Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta jiwa yang terdiri dari orang Jawa sebanyak 35,16%, Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minangkabau (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis (0,59%), Madura (0,57%), Banten (0,25%), dan Banjar (0,1%)[30] Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun 1961, orang Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah pinggiran seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar Minggu, dan Pulo Gadung[31] Jumlah orang Jawa banyak di Jakarta karena ketimpangan pembangunan antara daerah dan Jakarta. Sehingga orang Jawa mencari pekerjaan di Jakarta. Hal ini memunculkan tradisi mudik setiap tahun saat menjelang Lebaran yaitu orang daerah di Jakarta pulang secara bersamaan ke daerah asalnya. Jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2104 ke Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni 2.023.451 orang pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil, 3.426.702 orang naik bus, 192.219 orang naik kereta api, 26.836 orang naik kapal laut, dan 88.335 orang naik pesawat.[32] Bahkan menurut data Kementerian Perhubungan Indonesia menunjukkan tujuan pemudik dari Jakarta adalah 61% Jateng, 39% Jatim dan 10% daerah lain. Ditinjau dari profesinya, 28% pemudik adalah karyawan swasta, 27% wiraswasta, 17% PNS/TNI/POLRI, 10% pelajar/mahasiswa, 9% ibu rumah tangga dan 9% profesi lainnya. Diperinci menurut pendapatan pemudik, 44% berpendapatan Rp3-5 Juta, 42% berpendapatan Rp1-3 Juta, 10% berpendapatan Rp5-10 Juta, 3% berpendapatan di bawah Rp1 Juta dan 1% berpendapatan di atas Rp10 Juta.[33] Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa tinggal mengelompok di daerah-daerah permukiman yang dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang.[34] Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta. Selain etnis Tionghoa dan Minangkabau, ada juga etnis Arab dan India yang beradu nasib di Jakarta. Etnis Arab biasanya berdagang parfum, peci, mukena, sarung, karpet, dan kurma. Masyarakat dari Indonesia Timur, terutama etnis Bugis, Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi di wilayah Tanjung Priok. Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat keturunan Portugis, serta orang-orang yang berasal dari Luzon, Filipina.[31] Etnis di Jakarta pada tahun 1930, 1961, dan 2000 Etnis Tahun 1930[35] Tahun 1961[31] Tahun 2000[36] Jawa 11,01% 25,4% * 35,16% Betawi 36,19% 22,9% 27,65% Sunda 25,37% 32,85% 15,27% Tionghoa 14,67% 10,1% 5,53% Batak 0,23% 1,0% 3,61% Minangkabau 0,60% 2,1% 3,18% Melayu 1,13% 2,8% 1,62% Bugis -- 0,6% 0,59% Madura 0,05% -- 0,57 Banten -- -- 0,25 Banjar -- 0,20 0,10 Minahasa 0,70% 0,70 -- Lain-lain 10,05% 1,35% 6,47% * Catatan: Termasuk Suku Madura di dalamnya Geografi Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten. Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota. Pemadangan Jakarta Pusat dari Monas Iklim Question book-new.svg Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus. Tag ini diberikan tanggal September 2018 Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak musim penghujan pada bulan Januari dan Februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter dengan suhu rata-rata 27 °C. Curah hujan antara bulan Januari dan awal Februari sangat tinggi, pada saat itulah Jakarta dilanda banjir setiap tahunnya, dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 60 milimeter . Bulan September dan awal oktober adalah hari-hari yang sangat panas di Jakata, suhu udara dapat mencapai 40 °C .[37]. Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38 °C (77°-100 °F).[38] Data iklim Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia (suhu: 1924-1994, presipitasi: 1931-1994) Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahun Rekor tertinggi °C (°F) 33.3 (91.9) 32.8 (91) 33.3 (91.9) 33.3 (91.9) 33.3 (91.9) 33.3 (91.9) 34.4 (93.9) 35.6 (96.1) 35.6 (96.1) 35.6 (96.1) 35.6 (96.1) 33.9 (93) 35.6 (96.1) Rata-rata tertinggi °C (°F) 28.9 (84) 28.9 (84) 29.4 (84.9) 30.0 (86) 30.6 (87.1) 30.0 (86) 30.0 (86) 30.6 (87.1) 31.1 (88) 31.1 (88) 30.6 (87.1) 29.4 (84.9) 30.1 (86.2) Rata-rata harian °C (°F) 26.1 (79) 26.1 (79) 26.4 (79.5) 27.0 (80.6) 27.2 (81) 26.7 (80.1) 26.4 (79.5) 26.7 (80.1) 27.0 (80.6) 27.2 (81) 27.0 (80.6) 26.4 (79.5) 26.7 (80.1) Rata-rata terendah °C (°F) 23.3 (73.9) 23.3 (73.9) 23.3 (73.9) 23.9 (75) 23.9 (75) 23.3 (73.9) 22.8 (73) 22.8 (73) 22.8 (73) 23.3 (73.9) 23.3 (73.9) 23.3 (73.9) 23.3 (73.9) Rekor terendah °C (°F) 20.6 (69.1) 20.6 (69.1) 20.6 (69.1) 20.6 (69.1) 21.1 (70) 19.4 (66.9) 19.4 (66.9) 19.4 (66.9) 18.9 (66) 20.6 (69.1) 20.0 (68) 19.4 (66.9) 18.9 (66) Presipitasi mm (inci) 299.7 (11.799) 299.7 (11.799) 210.8 (8.299) 147.3 (5.799) 132.1 (5.201) 96.5 (3.799) 63.5 (2.5) 43.2 (1.701) 66.0 (2.598) 111.8 (4.402) 142.2 (5.598) 203.2 (8) 1.816 (71,495) % kelembapan 85 85 83 82 82 81 78 76 75 77 81 82 80.6 Rata-rata sinar matahari bulanan 189 182 239 255 260 255 282 295 288 279 231 220 2.975 Sumber #1: Sistema de Clasificación Bioclimática Mundial[39] Sumber #2: Danish Meteorological Institute (kelembaban dan matahari saja)[40] Lingkungan Taman Suropati di Menteng, Jakarta Pusat. Jakarta merupakan salah satu kota dengan udara terbersih di Indonesia. Salah satu faktor penentu keberhasilan tersebut adalah keberadaan kawasan Menteng dan Kebayoran Baru yang asri dan bersih. Selain Menteng dan Kebayoran Baru, banyak wilayah lain di Jakarta yang sudah bersih dan teratur. Permukiman ini biasanya dikembangkan oleh pengembang swasta, dan menjadi tempat tinggal masyarakat kelas menengah. Pondok Indah, Kelapa Gading, Pulo Mas, dan Cempaka Putih, adalah beberapa wilayah permukiman yang bersih dan teratur. Namun di beberapa wilayah lain Jakarta, masih tampak permukiman kumuh yang belum teratur. Permukiman kumuh ini berupa perkampungan dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, serta banyaknya rumah yang dibangun secara berhimpitan di dalam gang-gang sempit. Beberapa wilayah di Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi antara lain, Tanjung Priok, Johar Baru, Pademangan, Sawah Besar, dan Tambora. Taman kota Jakarta memiliki banyak taman kota yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Taman Monas atau Taman Medan Merdeka merupakan taman terluas yang terletak di jantung Jakarta. Di tengah taman berdiri Monumen Nasional yang dibangun pada tahun 1963. Taman terbuka ini dibuat oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1870) dan selesai pada tahun 1910 dengan nama Koningsplein. Di taman ini terdapat beberapa ekor kijang dan 33 pohon yang melambangkan 33 provinsi di Indonesia.[41] Taman Suropati terletak di kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Taman berbentuk oval dengan luas 16,322 m2 ini, dikelilingi oleh beberapa bangunan Belanda kuno. Di taman tersebut terdapat beberapa patung modern karya artis-artis ASEAN, yang memberikan sebutan lain bagi taman tersebut, yaitu "Taman persahabatan seniman ASEAN".[42] Taman Lapangan Banteng merupakan taman lain yang terletak di Gambir, Jakarta Pusat. Luasnya sekitar 4,5 ha. Di sini terdapat Monumen Pembebasan Irian Barat. Pada tahun 1970-an, taman ini digunakan sebagai terminal bus. Kemudian pada tahun 1993, taman ini kembali diubah menjadi ruang publik, tempat rekreasi, dan juga kadang-kadang sebagai tempat pertunjukan seni.[43] Pemerintahan Artikel utama: Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Peta DKI Jakarta tanpa Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Dasar hukum bagi DKI Jakarta adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007, tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini menggantikan UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta serta UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta yang keduanya tidak berlaku lagi. DKI Jakarta memiliki status khusus sebagai Daerah Khusus Ibukota setingkat provinsi dan dipimpin oleh seorang gubernur. Berbeda dengan provinsi lainnya, DKI Jakarta hanya memiliki pembagian di bawahnya berupa lima kota administratif dan satu kabupaten administratif, yang berarti tidak memiliki perwakilan rakyat tersendiri.[44][45] No. Kabupaten/kota administrasi[46] Pusat pemerintahan Bupati/wali kota administrasi Luas wilayah (km2)[47][48] Jumlah penduduk (2015)[49] Kecamatan Kelurahan/desa Logo Coat of arms of Jakarta.svg Peta lokasi 1 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Pulau Pramuka Husein Murad 8,70 23.340 2 6/- Lambang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.webp Pulau di Kepulauan Seribu.PNG 2 Kota Administrasi Jakarta Barat Kembangan Rustam Effendi 129,54 2.463.560 8 56/- Seal of West Jakarta.jpg Jakarta barat.png 3 Kota Administrasi Jakarta Pusat Menteng Bayu Meghantara 48,13 914.182 8 44/- Seal of Central Jakarta.jpg Jakarta pusat.png 4 Kota Administrasi Jakarta Selatan Kebayoran Baru Marullah Matali 141,27 2.185.711 10 65/- Seal of South Jakarta.png Jakarta selatan.png 5 Kota Administrasi Jakarta Timur Cakung Muhammad Anwar 188,03 2.843.816 10 65/- Lambang Kota Jakarta Timur.png Jakarta timur.png 6 Kota Administrasi Jakarta Utara Koja Sigit Wijatmoko 146,66 1.747.315 6 31/- Kota jakarta utara.png Jakarta utara.png